Kamis, 23 Oktober 2008

Tax Reformation

Besarnya potensi korupsi pajak semestinya disikapi dengan melakukan reformasi birokrasi perpajakan. Reformasi ini bukan hanya mereformasi adminstrasi perpajakan, tetapi harus melakukan reformasi birokrasi menyeluruh menyangkut aspek penegakan hukum terhadap aparat pajak (fiskus) yang melakukan praktik tercela, baik pada tahap penghitungan pajak maupun penyetoran pajak.

Pada masa Orde Baru telah dilakukan reformasi perpajakan tetapi tidak menyentuh reformasi birokrasi perpajakan. Reformasi perpajakan pada Januari 1981 sebagai reaksi dari berakhirnya era oil boom.

Reformasi perpajakan berikutnya terjadi pada 1983 ketika sistem administrasi perpajakan menetapkan sistem self assessment. Sistem ini telah berhasil meningkatkan partisipasi rakyat dalam hal pemenuhan kewajiban membayar pajak yang merupakan sumber penerimaan negara yang vital.

Sejak 1984-1994, sistem perpajakan nasional telah dirancang dengan model sederhana dalam hal jumlah, jenis, struktur tarif dan sistem pemungutan pajak. Pencapaian lainnya adalah aspek pemerataan dan keadilan dalam struktur tarifnya, serta telah memberikan kepastian hukum bagi WP dan aparat pajak, di samping kepercayaan yang besar kepada WP dengan penerapan sistem self assessment.

Reformasi perpajakan lebih banyak diartikan sebagai kebutuhan akan regulasi perpajakan yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat dengan tarif pajak progresif, tetapi tidak tampak adanya upaya perubahan jaminan manfaat bagi wajib pajak dari pembayaran pajaknya. Ketiadaan jaminan ini menyebabkan kurang terjadinya perubahan kesadaran membayar pajak.

Kurangnya jaminan manfaat pajak menambah persepsi negatif masyarakat tentang pajak karena dikhawatirkan pajak akan dijadikan alat pembayar utang luar negeri Indonesia, sehingga mempengaruhi pengadaan fasilitas publik seperti sarana kesehatan, sarana pendidikan dan sarana transportasi.

Semestinya reformasi perpajakan dan birokrasi perpajakan diletakkan dalam kerangka reformasi anggaran (budgeting reform) secara menyeluruh dengan orientasi pada kepentingan rakyat sebagai pembayar pajak. Di sinilah peran negara dibutuhkan untuk mengalokasi dan realokasi sumber-sumber daya produktif melalui pajak dalam bentuk subsidi kepada rakyat.


Rancangan amandemen Undang-undang Perpajakan akhirnya diajukan pemerintah dan yang menarik untuk dibahas adalah besarnya resistensi dari kalangan pebisnis, lembaga internasional dan berbagai komponen masyarakat lainnya.

Keberatan yang diajukan ada yang menyangkut substansi dan ada juga yang bersifat persepsi. Ketika sudah menyangkut persepsi dan interpretasi masalahnya menjadi semakin rumit dan melebar karena berkaitan dengan kapasitas kelembagaan dan tata kelola (governance). Masalah substansi bisa kita perdebatkan sehingga terjadi titik temu antara stakeholder. Persepsi dan interpretasi lebih bersifat subyektif sehingga sulit untuk mencari parameter penghubung.

Contoh yang bersifat substansi adalah tentang tarif PPh Badan yang diusulkan menjadi tarif tunggal. Dalam ketentuan yang sekarang, terdapat tiga lapisan penghasilan yakni (1) dibawah Rp 50 juta dengan tarif 10 persen, (2) diatas Rp 50 juta sampai Rp 100 juta dengan tarif 15 persen dan (3) diatas Rp 100 juta dengan tarif 30 persen. Dengan maksud sebagai penyederhanaan, tarifnya diubah menjadi tarif tunggal sebesar 30 persen yang kemudian diturunkan menjadi 28 persen pada tahun 2007 dan menjadi 25 persen pada tahun 2010.

Sebagian pengusaha tetap menginginkan adanya pelapisan pendapatan dan yang diturunkan adalah tarif tertingginya saja. Tarif progresif bukanlah sebuah perhitungan yang rumit sepanjang penghitungan penghasilan badan telah dilakukan dengan benar.

Sebagian lagi mempermasalahkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan tarif. Perusahaan besar sebenarnya tidak begitu tertarik dengan tarif progresif dengan pelapisan pendapatan yang begitu sempit. Batas penghasilan seratus juta merupakan porsi yang teramat kecil dari total pendapatan mereka. Mereka lebih tertarik dengan penurunan tarif.

Hal-hal seperti itu tentu akan sangat mudah diselesaikan asalkan ada ruang yang cukup untuk berdialog diantara para stakeholder. Tidaklah terlalu sulit untuk melakukan kalkulasi tentang dampak dari setiap alternatif tarif yang diajukan. Dengan menggunakan benchmark negara-negara tetangga dan memperhitungkan dampaknya terhadap ekonomi makro maupun perusahaan, sebuah win-win solution akan dengan mudah bisa dirumuskan.

Akan tetapi pencarian solusi tidak selamanya mudah bila sudah menyangkut persepsi terhadap butir-butir tertentu dalam usulan amandemen. Sebagai contoh adalah usulan tentang pembekuan rekening bank atas nama wajib pajak yang dinilai "nakal". Usulan ini, dari sisi pemerintah, dipandang perlu untuk menjamin tingkat ketaatan wajib pajak.

Di lain pihak, pebisnis menginterpretasikan hal tersebut sebagai sebuah ancaman terhadap kelangsungan usaha mereka. Kalau terdapat dispute antara WP dan Ditjen Pajak, dan kemudian rekening mereka dibekukan, maka perusahaan bisa bankrut tidak mempunyai akses terhadap pembiayaan. Sementara kita sedang gencar-gencarnya menggalakan investasi, usulan ini berpotensi untuk memperburuk iklim usaha. Hal tersebut tentu tidak konsisten dengan kebijakan umum pemerintahan sekarang.

Sebetulnya, pemerintah dan masyarakat pembayar pajak sama-sama sepakat bahwa tingkat compliance harus ditingkatkan. Masalahnya adalah perbedaan persepsi tentang bagaimana cara mencapainya. Di negara-negara yang sudah maju sistem perpajakannya dimana kantor pajak sangat kredibel, bersih dan ditakuti, penyimpangan pajak dipandang sebagai tindakan yang melebihi tindak kriminal. IRA di Amerika Serikat merupakan lembaga yang lebih ditakuti dibanding polisi ataupun kejaksaan. Di negara tersebut, pelanggaran pajak bisa menghancurkan kredibilitas pribadi dan kelangsungan bisnis perusahaan.

Masalahnya adalah, ketika sebuah institusi diberi kewenangan yang lebih besar maka institusi tersebut harus memenuhi pra-syarat untuk supaya kewenangan tersebut tidak akan disalahgunakan baik oleh individu maupun institusi itu secara keseluruhan. Penelitian yang dilakukan oleh Mason (1993) menyebutkan bahwa tingkat keberhasilan sebuah program reformasi ekonomi sangat tergantung pada dua hal yaitu (1) credibility of policy dan (2) credibility of policy makers. Sebuah program reformasi yang secara substantif bagus dan kredibel, tidak akan terlalu berhasil dalam implementasinya jika policy makers tidak mempunyai kredibilitas.

Tentu kita semua bercita-cita agar semua institusi di negara ini memiliki tingkat kredibilitas dan governance yang tinggi. Termasuk didalamnya adalah Ditjen Pajak. Tapi pada kenyataannya, persepsi masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintah masih teramat negatif. Tentu hal ini terkait dengan catatan historis yang cukup kelam di hampir seluruh lini pemerintahan. Walaupun sekarang pemerintah sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi, tapi persepsi tersebut tidak mudah hilang.

Dari uraian tersebut kita bisa membuat sebuah tautologi: kalaupun seandainya Ditjen Pajak sekarang ini giat membersihkan diri, citra negatif yang terakumulasi selama puluhan tahun akan sulit untuk dihapuskan. Jadi masalahnya sekarang adalah bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa Ditjen Pajak telah bersih dan aparatnya tidak suka "bermain".

Satu hal yang pasti, persepsi negatif hanya akan hilang jika masyarakat telah melihat dan merasakan bahwa perubahan telah terjadi. Perubahan persepsi negatif ke positif tidak akan terjadi jika tanpa pembuktian yang nyata-nyata dirasakan. Reformasi perpajakan hanya akan dipercaya dapat membawa perbaikan buat kehidupan bangsa, seandainya masyarakat telah menemukan bukti kongkrit. Karena itu, reformasi perpajakan harus didahului oleh langkah-langkah untuk memperbaiki governance dan penertiban aparat pajak yang memiliki perilaku menyimpang. Langkah-langkah ke arah itu mungkin sedang dilakukan. Tetapi, melekatnya persepsi negatif mengisyaratkan bahwa langkah-langkah tersebut harus dilakukan lebih jauh dan lebih intensif.

Sebagai penutup, reformasi perpajakan merupakan hal sudah sangat mendesak dan terlambat. Tetapi, supaya efektif tentunya berbagai prasyarat yang kita diskusikan di atas harus dipenuhi. Upaya peningkatan kredibilitas harus menjadi prioritas pertama.



Politik perpajakan dan partisipasi publik

Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara, karena itu merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat. Apalagi sekarang telah dilakukan pembahasan RUU Pajak yang baru yang akan menggantikan UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Penduduk Indonesia sebesar 215 juta jiwa merupakan potensi pajak yang berlimpah. Ironisnya, hingga 2004 jumlah wajib pajak/ pembayar pajak hanya mencapai 3.670.060 jiwa dengan perincian 2.622.184 pembayar pajak orang pribadi dan 1.047.876 lainnya pembayar pajak badan.

Hal ini menandakan besarnya praktik tax avoidance maupun tax evasion pada satu sisi, serta kebijakan perpajakan tidak cukup kuat untuk melakukan ekstensifikasi pajak di samping proses pendataan wajib pajak yang kurang gencar dilakukan.

Meski harus diakui pandangan negatif masih merebak di tengah masyarakat tentang persepsi korupsi pada instansi perpajakan, sehingga mempengaruhi tingkat kepatuhan rakyat untuk membayar pajak.

Partisipasi publik

Dari kaca mata pemerintah, eksistensi partisipasi rakyat hanya diukur dari tingkat kesadaran rakyat untuk membayar pajak. Menurut Transparency International Indonesia (TII), sampai 23 Maret 2004, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp42 triliun, meningkat 108% dibanding penerimaan 2003 periode yang sama, atau 18% dari target penerimaan pajak 2005. Sumbangan pajak terhadap APBN mulai naik sebagai hikmah dari krisis moneter pada 1998 dari Rp115 triliun (11,8%) pada 2000 jadi Rp271 triliun (79%) pada 2004.

Ini dianggap merupakan prestasi pemerintah karena berhasil memperbarui bank data wajib pajak, dampak tindakan penegakan hukum bagi wajib pajak membandel dan atas kesadaran dan kepatuhan para wajib pajak sendiri untuk memenuhi kewajiban pajaknya.

Pemahaman pemerintah terhadap partisipasi rakyat dalam perpajakan belumlah lengkap, karena partisipasi rakyat yang sesungguhnya adalah pelibatan rakyat dalam proses penentuan anggaran belanja (participatory budgeting) sehingga rakyat sebagai pembayar pajak mengerti fungsi dan manfaat pajak yang dibayarnya. Bila rakyat mengerti, akan dapat memacu tingkat kepatuhan membayar pajak.

Demikian pula dari segi peristilahan. Istilah "wajib pajak" yang dilekatkan pada rakyat lebih berkonotasi otoritarian karena seakan-akan rakyat hanya memiliki kewajiban tanpa adanya hak. Sementara rakyat sebagai warga negara sekaligus pembayar pajak, memiliki hak dan kewajiban. Untuk itu istilah "wajib pajak" sudah selayaknya diganti menjadi "pembayar pajak" dalam RUU Pajak yang baru agar tercipta keseimbangan antara hak dan kewajiban rakyat sebagai pembayar pajak.

Padahal, pajak adalah kontrak ekonomi dan politik antara pembayar pajak (rakyat/publik) dengan pemerintah. Pembayar pajak berhak mendapatkan jasa layanan pemerintah melalui fungsi pelayanan publik yang standar. Bila layanan publik pemerintah kurang berkualitas, maka hak rakyat untuk menolak membayar pajak.

Dengan adanya kesetaraan hak dan kewajiban, pembayar pajak seharusnya memiliki hak asesibilitas perpajakan, untuk mendapatkan akses informasi terkait dengan masalah perpajakan seperti aturan perpajakan, jumlah penerimaan pajak, sumber penerimaan pajak, cara perhitungan pajak, potensi pajak, dan penggunaan dana hasil pajak yang masuk ke kas negara pada tempat-tempat yang mudah dijangkau publik. Tempat-tempat yang dimaksud bisa berupa leaflet, buletin, website dan media lainnya.

Konsekwensi lainnya adalah adanya hak untuk berpartisipasi pada proses penyusunan kebijakan anggaran dan perpajakan. Bentuk partisipasi publik dapat berupa partisipasi dalam penyusunan kebijakan anggaran dan perpajakan maupun partisipasi dalam bentuk pengawasan atas penerimaan dan pengalokasian dana pajak.

Kredibilitas Reformasi Perpajakan

Penerimaan pajak diperkirakan hilang sebesar Rp 47 triliun tahun depan, menyusul amendemen atas Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). UU Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Selain itu, pemberian berbagai insentif pajak turut mengurangi penerimaan negara. "Penerimaan pajak bakal berkurang Rp 47 triliun atau sekitar 9% dari jumlah penerimaan pajak tahun 2007," kata Dirjen Pajak Depkeu Darmin Nasution di Jakarta. Kamis (25/9).


Darmin mengakui, jika amendemen ketiga UU tersebut tidak dilakukan, penerimaan pajak tahun ini bisa meningkat 29,5% daripada penerimaan pajak tahun sebelumnya. Padahal, pemberlakuan amendemen UU baru hanya mampu mendongkrak kenaikan penerimaan pajak 20,5% 2008.

Mantan ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Ba-pepam-LK) itu pernah mengatakan, potensi kerugian (potential loss) penerimaan pajak 2009 bisa menembus sebesar Rp 40 triliun. Namun, setelah kembali dihitung, potential loss melonjak menjadi Rp 47 triliun seiring penerapan UU pajak baru.

Meskipun demikian, tegas Darmin, pemerintah optimistis penerimaan pajak diharapkan dapat tercapai sesuai target RAPBN 2009 senilai Rp 624 triliun.
"Guna mengoptimalkan penerimaan pajak, kami terus menggalaukan program intensifikasi dan ekstensifikasi. Sebab, hal tersebut baru dimulai sejak akhir 2007 melalui metode profiling dan smarting dari wajip pajak yang besar," tandas dia.

Dia menegaskan, metode itu dinilai cukup efektif, karena Ditjen Pajak dapat memantau berapa banyak wajib pajak (WP) yang melunasi pajak jauh di bawah normal.

Berdasarkan data Depkeu, realisasi pajak 2004 mencapai 100% dari target yang ditetapkan Rp 280.56 triliun. Tapi, realisasi penerimaan pajak tahun berikutnya turun menjadi 98,6% dari target semula Rp 351,97 triliun! Hal sama juga terjadi pada 2006.

Dari target Rp 425,05 triliun, realisasi mencapai 96,3%. Sedangkan realisasi penerimaan pajak 2007 hampir menembus 100%, yaitu Rp 490.98 triliun.

Penerimaan pajak nonmigas periode Januari-September 2008 meningkat 46% dibandingkan peridoe sama tahun lalu.

Dihubungi terpisah, Dekan Fakultas Ekonomi UI Bambang Brodjonegoro berpendapat, penurunan tarif pajak tidak akan linier dengan pengurangan penerimaan. Sebab, hal tersebut dapat dikompensasi dengan cara meningkatkan aktivitas ekonomi, sehingga mampu meminimalisasi potensi penurunan penerimaan.

"Saat itu merupakan momentum tepat untuk melihat elastisitas tarif terhadap penerimaan pajak," ungkap dia.

Terlalu Besar

Pengamat perpajakan dari Universitas Pelita Harapan Ronny Bako mengatakan, potensial loss yang bisa dihitung hanya atas UU PPh. Sedangkan potensi kerugian UU PPN belum dapat dikalkulasi saat ini, karena RUU-nya belum selesai. Ronny meragukan, besarnya potensi kerugian terkait amendemen ketiga UU Pajak.

"Kalaupun ada potensi kerugian seharusnya tidak sebesar Rp 40 triliun, tapi berkisar Rp 25-30 triliun. Itupun masih dapat ditekan bila program sunset policy berhasil. Saya yakin, potensi kerugian hanya berkisar Rp 15-20 tribun," jelas dia.

Menurut dia, jika tarif PPN dan PPNBM tetap atau turun, potensi kerugian tidak terjadi, kecuali bila modelnya seperti UU PPh yang tergolong revolusioner. Apalagi, se-karang ini Ditjen Pajak cukup kooperatif dalam melaksanakan tugasnya. "Yang penting, pemerintah harus sanggup meningkatkan kepatuhan WP," ujar dia.

Pandangan senada juga dilontarkan Wakil Ketua Komisi XI DPR Olly Dondokambey. Dia mengatakan, penerapan UU Pajak yang baru tetap mendongrak penerimaan pajak negara tahun depan. Soalnya jumlah volume pajak bakal lebih besar sejalan kenaikan jumlah pembayar pajak. Oleh karena itu, target penerimaan pajak 2009 sebesar Rp 624 triliun kemungkinan besar tercapai.

Target penerimaan pajak sejatinya melonjak tajam seiring modernisasi kantor-kantor pajak, program intensifikasi, dan ekstensifikasi. Artinya, kehilangan penerimaan pajak Rp 47 triliun tahun depan tidak begitu signifikan di-bandingkan penerimaan pajnk baru," papar dia.

Sementara itu, ekonom Faisal Basri mengungkapkan, pemerintah tidak perlu khawatir atas potensi penurunan penerimaan pajak akibat reformasi. Dia yakin, deregulasi UU Perpajakan yang dinilai kondusif bagi dunia usaha akan berdampak positif atas penerimaan perpajakan. "Bahkan tidak sampai 2010, penerimaan pajak tetap tumbuh mulai tahun depan, karena WP bertambah banyak setelah reformasi perpajakan. Reformasi pajak itu ibarat kebun binatang yang binatang-nya bertambah banyak," ujar dia.

Menurut Faisal, reformasi perpajakan tidak dapat dihindarkan lagi, karena kebijakan serupa sudah diterapkan di negara lain. Kalau Indonesia tidak menerapkan reformasi perpajakan, tegas dia. Indonesia pasti kalah bersaing dengan negara lain dalam mena-rik investasi.

Dia mengakui, seiring reformasi perpajakan. Ditjen Pajak semakin gencar melakukan program intensifikasi penarikan pajak, seperti perkebunan kelapa sawit. Apalagi, pemerintah sudah memiliki acuan dalam mengukur nilai pajak yang sesuai untuk suatu perusahaan.

Faisal menambahkan. Ditjen Pajak kini dipimpin pejabat yang memiliki integritas tinggi dan baik. Sedangkan sistem administrasi perpajakan juga kian berkualitas, menyusul diterapkannya sistem komputerisasi.

"Jadi, saya kira sulit bagi aparat dan WP membuat kompromi atas pembayaran pajak. Soalnya, pemerintah sudah mempunyai program-program yang mampu mendorong penerimaan pajak, antara lain kewajiban memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan sunset policy," kata dia.

Recky Meltha/Mahasiswa STIEBI

Tidak ada komentar: