Senin, 29 Desember 2008

SUNSET POLICY BIDANG PERPAJAKAN

Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan yang merupakan perubahan terakhir dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983, salah satu pasal dalam undang-undang tersebut banyak di gencarkan pengiklanannya yaitu pasal 37a membahas tentang "Sunset Policy", secara lengkap Pasal 37a ini adalah sebagai berikut:

(1) Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

Atas pasal inilah hampir seluruh Kantor Pelayanan Pajak di banjiri oleh Wajib Pajak, baik yang akan mengajukan permintaan Nomor Pokok Wajib Pajak, maupun mengajukan pembetulan Surat pemberitahuannya yang belum atau sudah dilaporkannya.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan melonjaknya permintaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak itu sendiri, karena ada beberapa orang yang sempat ditemui oleh penulis pada saat memperoleh NPWP yang diajukan lewat Mobil Pajak/Pojok Pajak di Bekasi mengatakan bahwa "mengurus NPWP karena di ajak diteman, ada pula yang mangatakan hanya untuk mendapatkan fasilitas bebas fiskal", nah lho ?

Dengan demikian pihak Direktorat Jenderal Pajak harus bekerja keras dengan bertambahnya wajib pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak maka akan timbul permasalahannya adalah tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Artinya dengan bertambahnya Wajib Pajak yang rata-rata hanya satu pemberi kerja atau bahkan seorang pensiunan maka akan mempunyai kewajiban perpajakan satu tahun sekali. Selain itu dengan sistem Modern yang berlaku sekarang tidak menutup kemungkinan akan keluar banyak sekali tagihan-tagihan pajak akibat tidak lapornya wajib pajak.

Hal-hal tersebut akan menjadi kewajiban aparat perpajakan dilapangan untuk memahami, bagaimana sifat-sifat wajib pajak, apakah mengerti akan hak dan kewajibannya. Sehingga kembali ke bagian Ekstensifikasi atau Account Representative untuk bisa menjelaskan kepada wajib pajak akan hak dan kewajibannya, supaya tidak menjadikan beban baik bagi wajib pajak maupun bagi aparat perpajakan itu sendiri.

Penulis,
Heri

Jumat, 28 November 2008

Marilah Beramal Sholeh

Marilah Beramal Saleh di Awal Dzulhijah
Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
“Tidak ada satu amal saleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal saleh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan beramal di 10 hari pertama bulan Dzulhijah.
Ibnu Rojab dalam Latho’if Ma’arif mengatakan, “Amalan yang kurang afdhol jika dikerjakan di waktu yang utama (seperti bulan Dzulhijah, pen), lalu dibandingkan dengan amalan yang afdhol yang dikerjakan di bulan lainnya, maka amalan yang dikerjakan di waktu yang utama akan lebih unggul karena pahala dan ganjaran yang dilipatgandakan.” Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun, ada pula yang mengatakan sama dengan dua tahun, bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000 hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada hadits fadho’il yang lemah (dho’if), namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan hadits shahih yang ada.
Lalu Apa Amalan yang Dapat Kita Lakukan Pada Awal Dzulhijah?
Amalan yang dapat dilakukan adalah berpuasa. Berdasarkan perkataan Hafshoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan berpuasa pada sepuluh hari awal Dzulhijah. Namun ‘Aisyah mengatakan bahwa beliau tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan puasa di hari-hari tersebut sama sekali. Ibnu Rojab menukil perkataan Imam Ahmad dalam menggabungkan dua perkataan ini dengan mengatakan, “Yang dimaksudkan ‘Aisyah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa secara sempurna pada awal Dzulhijah. Sedangkan yang dimaksudkan Hafshoh adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada mayoritas hari-hari yang ada. Oleh karena itu, sebaiknya seseorang berpuasa pada sebagian hari dan berbuka pada sebagian lainnya. Inilah kompromi yang paling bagus.”
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa pada awal Dzulhijah tidak hanya dikhususkan untuk berpuasa, namun ini umum untuk amalan lainnya seperti qiyamul lail (shalat malam) dan memperbanyak dzikir yaitu bacaan tahlil, tahmid dan takbir. Ini menunjukkan keutamaan beramal pada awal bulan tersebut. (Inilah Faedah dari Latho’if Ma’arif, Ibnu Rojab)
Juga hendaklah kita yang gemar melakukan amalan sunnah (mustahab) dapat berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijah (puasa Arafah) karena keutamaan yang besar di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim no. 2804).
Semoga dengan melakukan hal ini kita termasuk orang yang mendapat keutamaan yang disebutkan dalam hadits qudsi berikut.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)
Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad, www.islamspirit.com)
Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapat taufik Allah untuk beramal pada hari yang utama ini dengan selalu mengharapkan wajah-Nya dan mengikuti tuntunan Rasul-Nya.
Diselesaikan di pagi hari yang penuh berkah, 27 Dzulqo’dah 1429 H di rumah tercinta Pangukan - Sleman.
Silakan disebarluaskan, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin lainnya.
Yang senantiasa mengharapkan rahmat dan ampunan Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Kamis, 23 Oktober 2008

I Love You


Kata-kata indah yang yang bisa di ucapkan oleh siapa saja baik dari mulai anak-anak sampai yang sudah uzur sekalipun dapat mempunyai makna macam-macam. Tapi ucapan ini kadang-kadang dapat untuk menyejukkan hati siapa saja. Arti dalam kata bahasa sehari hari yang berarti "saya sayang kamu" perlu sekali kita ucapkan terutama kepada pasangan abadi kita yaitu istri, suami dan anak-anak kita.
Jangan takut untuk berkata "I Love You" kepada Istri, suami dan anak kita, ini untuk mencegah apakah kita setia pada mereka. Tidak banyak pasangan yang sudah lama menikah mengatakan hal ini, ada beberapa kemungkinan, kemungkinan pertama adalah tidak biasa mengatakan hal itu karena kata-kata itu hanya di ucapkan pada saat masa-masa pacaran.Kemungkinan kedua adalah karena kita udah sibuk akan kegiatan kita sendiri dari pekerjaan rutinitas sampai hal-hal yang memakan waktu sehingga kita tidak sempat untuk berkasih sayang dengan pasangan kita seperti halnya pada saat kita berkenalan.
Ucapan-ucapan ini juga sering kita lihat pada tontonan pada televisi pada film-film barat dan tak jarang pada film yang sifatnya menceritakan masalah keluarga akan sering terucap kata "i love mom, i love you dad, i love you my child dan lain-lain".
Kalau kita renungkan kembali bagaimana kita mengukur akan kecintaan Allah kepada kita dan bagaimana rasa syukur kita kepada Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan segala kenikmatan kepada kita. Sehingga di dalam kehidupan sehari-hari dalam dunia kerja misalnya perlu kita mengatakan we love you kepada teman kita semua untuk menciptakan rasa saling percaya.

We Love You/Heri

Tax Reformation

Besarnya potensi korupsi pajak semestinya disikapi dengan melakukan reformasi birokrasi perpajakan. Reformasi ini bukan hanya mereformasi adminstrasi perpajakan, tetapi harus melakukan reformasi birokrasi menyeluruh menyangkut aspek penegakan hukum terhadap aparat pajak (fiskus) yang melakukan praktik tercela, baik pada tahap penghitungan pajak maupun penyetoran pajak.

Pada masa Orde Baru telah dilakukan reformasi perpajakan tetapi tidak menyentuh reformasi birokrasi perpajakan. Reformasi perpajakan pada Januari 1981 sebagai reaksi dari berakhirnya era oil boom.

Reformasi perpajakan berikutnya terjadi pada 1983 ketika sistem administrasi perpajakan menetapkan sistem self assessment. Sistem ini telah berhasil meningkatkan partisipasi rakyat dalam hal pemenuhan kewajiban membayar pajak yang merupakan sumber penerimaan negara yang vital.

Sejak 1984-1994, sistem perpajakan nasional telah dirancang dengan model sederhana dalam hal jumlah, jenis, struktur tarif dan sistem pemungutan pajak. Pencapaian lainnya adalah aspek pemerataan dan keadilan dalam struktur tarifnya, serta telah memberikan kepastian hukum bagi WP dan aparat pajak, di samping kepercayaan yang besar kepada WP dengan penerapan sistem self assessment.

Reformasi perpajakan lebih banyak diartikan sebagai kebutuhan akan regulasi perpajakan yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat dengan tarif pajak progresif, tetapi tidak tampak adanya upaya perubahan jaminan manfaat bagi wajib pajak dari pembayaran pajaknya. Ketiadaan jaminan ini menyebabkan kurang terjadinya perubahan kesadaran membayar pajak.

Kurangnya jaminan manfaat pajak menambah persepsi negatif masyarakat tentang pajak karena dikhawatirkan pajak akan dijadikan alat pembayar utang luar negeri Indonesia, sehingga mempengaruhi pengadaan fasilitas publik seperti sarana kesehatan, sarana pendidikan dan sarana transportasi.

Semestinya reformasi perpajakan dan birokrasi perpajakan diletakkan dalam kerangka reformasi anggaran (budgeting reform) secara menyeluruh dengan orientasi pada kepentingan rakyat sebagai pembayar pajak. Di sinilah peran negara dibutuhkan untuk mengalokasi dan realokasi sumber-sumber daya produktif melalui pajak dalam bentuk subsidi kepada rakyat.


Rancangan amandemen Undang-undang Perpajakan akhirnya diajukan pemerintah dan yang menarik untuk dibahas adalah besarnya resistensi dari kalangan pebisnis, lembaga internasional dan berbagai komponen masyarakat lainnya.

Keberatan yang diajukan ada yang menyangkut substansi dan ada juga yang bersifat persepsi. Ketika sudah menyangkut persepsi dan interpretasi masalahnya menjadi semakin rumit dan melebar karena berkaitan dengan kapasitas kelembagaan dan tata kelola (governance). Masalah substansi bisa kita perdebatkan sehingga terjadi titik temu antara stakeholder. Persepsi dan interpretasi lebih bersifat subyektif sehingga sulit untuk mencari parameter penghubung.

Contoh yang bersifat substansi adalah tentang tarif PPh Badan yang diusulkan menjadi tarif tunggal. Dalam ketentuan yang sekarang, terdapat tiga lapisan penghasilan yakni (1) dibawah Rp 50 juta dengan tarif 10 persen, (2) diatas Rp 50 juta sampai Rp 100 juta dengan tarif 15 persen dan (3) diatas Rp 100 juta dengan tarif 30 persen. Dengan maksud sebagai penyederhanaan, tarifnya diubah menjadi tarif tunggal sebesar 30 persen yang kemudian diturunkan menjadi 28 persen pada tahun 2007 dan menjadi 25 persen pada tahun 2010.

Sebagian pengusaha tetap menginginkan adanya pelapisan pendapatan dan yang diturunkan adalah tarif tertingginya saja. Tarif progresif bukanlah sebuah perhitungan yang rumit sepanjang penghitungan penghasilan badan telah dilakukan dengan benar.

Sebagian lagi mempermasalahkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan tarif. Perusahaan besar sebenarnya tidak begitu tertarik dengan tarif progresif dengan pelapisan pendapatan yang begitu sempit. Batas penghasilan seratus juta merupakan porsi yang teramat kecil dari total pendapatan mereka. Mereka lebih tertarik dengan penurunan tarif.

Hal-hal seperti itu tentu akan sangat mudah diselesaikan asalkan ada ruang yang cukup untuk berdialog diantara para stakeholder. Tidaklah terlalu sulit untuk melakukan kalkulasi tentang dampak dari setiap alternatif tarif yang diajukan. Dengan menggunakan benchmark negara-negara tetangga dan memperhitungkan dampaknya terhadap ekonomi makro maupun perusahaan, sebuah win-win solution akan dengan mudah bisa dirumuskan.

Akan tetapi pencarian solusi tidak selamanya mudah bila sudah menyangkut persepsi terhadap butir-butir tertentu dalam usulan amandemen. Sebagai contoh adalah usulan tentang pembekuan rekening bank atas nama wajib pajak yang dinilai "nakal". Usulan ini, dari sisi pemerintah, dipandang perlu untuk menjamin tingkat ketaatan wajib pajak.

Di lain pihak, pebisnis menginterpretasikan hal tersebut sebagai sebuah ancaman terhadap kelangsungan usaha mereka. Kalau terdapat dispute antara WP dan Ditjen Pajak, dan kemudian rekening mereka dibekukan, maka perusahaan bisa bankrut tidak mempunyai akses terhadap pembiayaan. Sementara kita sedang gencar-gencarnya menggalakan investasi, usulan ini berpotensi untuk memperburuk iklim usaha. Hal tersebut tentu tidak konsisten dengan kebijakan umum pemerintahan sekarang.

Sebetulnya, pemerintah dan masyarakat pembayar pajak sama-sama sepakat bahwa tingkat compliance harus ditingkatkan. Masalahnya adalah perbedaan persepsi tentang bagaimana cara mencapainya. Di negara-negara yang sudah maju sistem perpajakannya dimana kantor pajak sangat kredibel, bersih dan ditakuti, penyimpangan pajak dipandang sebagai tindakan yang melebihi tindak kriminal. IRA di Amerika Serikat merupakan lembaga yang lebih ditakuti dibanding polisi ataupun kejaksaan. Di negara tersebut, pelanggaran pajak bisa menghancurkan kredibilitas pribadi dan kelangsungan bisnis perusahaan.

Masalahnya adalah, ketika sebuah institusi diberi kewenangan yang lebih besar maka institusi tersebut harus memenuhi pra-syarat untuk supaya kewenangan tersebut tidak akan disalahgunakan baik oleh individu maupun institusi itu secara keseluruhan. Penelitian yang dilakukan oleh Mason (1993) menyebutkan bahwa tingkat keberhasilan sebuah program reformasi ekonomi sangat tergantung pada dua hal yaitu (1) credibility of policy dan (2) credibility of policy makers. Sebuah program reformasi yang secara substantif bagus dan kredibel, tidak akan terlalu berhasil dalam implementasinya jika policy makers tidak mempunyai kredibilitas.

Tentu kita semua bercita-cita agar semua institusi di negara ini memiliki tingkat kredibilitas dan governance yang tinggi. Termasuk didalamnya adalah Ditjen Pajak. Tapi pada kenyataannya, persepsi masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintah masih teramat negatif. Tentu hal ini terkait dengan catatan historis yang cukup kelam di hampir seluruh lini pemerintahan. Walaupun sekarang pemerintah sedang gencar-gencarnya memberantas korupsi, tapi persepsi tersebut tidak mudah hilang.

Dari uraian tersebut kita bisa membuat sebuah tautologi: kalaupun seandainya Ditjen Pajak sekarang ini giat membersihkan diri, citra negatif yang terakumulasi selama puluhan tahun akan sulit untuk dihapuskan. Jadi masalahnya sekarang adalah bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa Ditjen Pajak telah bersih dan aparatnya tidak suka "bermain".

Satu hal yang pasti, persepsi negatif hanya akan hilang jika masyarakat telah melihat dan merasakan bahwa perubahan telah terjadi. Perubahan persepsi negatif ke positif tidak akan terjadi jika tanpa pembuktian yang nyata-nyata dirasakan. Reformasi perpajakan hanya akan dipercaya dapat membawa perbaikan buat kehidupan bangsa, seandainya masyarakat telah menemukan bukti kongkrit. Karena itu, reformasi perpajakan harus didahului oleh langkah-langkah untuk memperbaiki governance dan penertiban aparat pajak yang memiliki perilaku menyimpang. Langkah-langkah ke arah itu mungkin sedang dilakukan. Tetapi, melekatnya persepsi negatif mengisyaratkan bahwa langkah-langkah tersebut harus dilakukan lebih jauh dan lebih intensif.

Sebagai penutup, reformasi perpajakan merupakan hal sudah sangat mendesak dan terlambat. Tetapi, supaya efektif tentunya berbagai prasyarat yang kita diskusikan di atas harus dipenuhi. Upaya peningkatan kredibilitas harus menjadi prioritas pertama.



Politik perpajakan dan partisipasi publik

Eksistensi pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara, karena itu merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat. Apalagi sekarang telah dilakukan pembahasan RUU Pajak yang baru yang akan menggantikan UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Penduduk Indonesia sebesar 215 juta jiwa merupakan potensi pajak yang berlimpah. Ironisnya, hingga 2004 jumlah wajib pajak/ pembayar pajak hanya mencapai 3.670.060 jiwa dengan perincian 2.622.184 pembayar pajak orang pribadi dan 1.047.876 lainnya pembayar pajak badan.

Hal ini menandakan besarnya praktik tax avoidance maupun tax evasion pada satu sisi, serta kebijakan perpajakan tidak cukup kuat untuk melakukan ekstensifikasi pajak di samping proses pendataan wajib pajak yang kurang gencar dilakukan.

Meski harus diakui pandangan negatif masih merebak di tengah masyarakat tentang persepsi korupsi pada instansi perpajakan, sehingga mempengaruhi tingkat kepatuhan rakyat untuk membayar pajak.

Partisipasi publik

Dari kaca mata pemerintah, eksistensi partisipasi rakyat hanya diukur dari tingkat kesadaran rakyat untuk membayar pajak. Menurut Transparency International Indonesia (TII), sampai 23 Maret 2004, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp42 triliun, meningkat 108% dibanding penerimaan 2003 periode yang sama, atau 18% dari target penerimaan pajak 2005. Sumbangan pajak terhadap APBN mulai naik sebagai hikmah dari krisis moneter pada 1998 dari Rp115 triliun (11,8%) pada 2000 jadi Rp271 triliun (79%) pada 2004.

Ini dianggap merupakan prestasi pemerintah karena berhasil memperbarui bank data wajib pajak, dampak tindakan penegakan hukum bagi wajib pajak membandel dan atas kesadaran dan kepatuhan para wajib pajak sendiri untuk memenuhi kewajiban pajaknya.

Pemahaman pemerintah terhadap partisipasi rakyat dalam perpajakan belumlah lengkap, karena partisipasi rakyat yang sesungguhnya adalah pelibatan rakyat dalam proses penentuan anggaran belanja (participatory budgeting) sehingga rakyat sebagai pembayar pajak mengerti fungsi dan manfaat pajak yang dibayarnya. Bila rakyat mengerti, akan dapat memacu tingkat kepatuhan membayar pajak.

Demikian pula dari segi peristilahan. Istilah "wajib pajak" yang dilekatkan pada rakyat lebih berkonotasi otoritarian karena seakan-akan rakyat hanya memiliki kewajiban tanpa adanya hak. Sementara rakyat sebagai warga negara sekaligus pembayar pajak, memiliki hak dan kewajiban. Untuk itu istilah "wajib pajak" sudah selayaknya diganti menjadi "pembayar pajak" dalam RUU Pajak yang baru agar tercipta keseimbangan antara hak dan kewajiban rakyat sebagai pembayar pajak.

Padahal, pajak adalah kontrak ekonomi dan politik antara pembayar pajak (rakyat/publik) dengan pemerintah. Pembayar pajak berhak mendapatkan jasa layanan pemerintah melalui fungsi pelayanan publik yang standar. Bila layanan publik pemerintah kurang berkualitas, maka hak rakyat untuk menolak membayar pajak.

Dengan adanya kesetaraan hak dan kewajiban, pembayar pajak seharusnya memiliki hak asesibilitas perpajakan, untuk mendapatkan akses informasi terkait dengan masalah perpajakan seperti aturan perpajakan, jumlah penerimaan pajak, sumber penerimaan pajak, cara perhitungan pajak, potensi pajak, dan penggunaan dana hasil pajak yang masuk ke kas negara pada tempat-tempat yang mudah dijangkau publik. Tempat-tempat yang dimaksud bisa berupa leaflet, buletin, website dan media lainnya.

Konsekwensi lainnya adalah adanya hak untuk berpartisipasi pada proses penyusunan kebijakan anggaran dan perpajakan. Bentuk partisipasi publik dapat berupa partisipasi dalam penyusunan kebijakan anggaran dan perpajakan maupun partisipasi dalam bentuk pengawasan atas penerimaan dan pengalokasian dana pajak.

Kredibilitas Reformasi Perpajakan

Penerimaan pajak diperkirakan hilang sebesar Rp 47 triliun tahun depan, menyusul amendemen atas Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). UU Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Selain itu, pemberian berbagai insentif pajak turut mengurangi penerimaan negara. "Penerimaan pajak bakal berkurang Rp 47 triliun atau sekitar 9% dari jumlah penerimaan pajak tahun 2007," kata Dirjen Pajak Depkeu Darmin Nasution di Jakarta. Kamis (25/9).


Darmin mengakui, jika amendemen ketiga UU tersebut tidak dilakukan, penerimaan pajak tahun ini bisa meningkat 29,5% daripada penerimaan pajak tahun sebelumnya. Padahal, pemberlakuan amendemen UU baru hanya mampu mendongkrak kenaikan penerimaan pajak 20,5% 2008.

Mantan ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Ba-pepam-LK) itu pernah mengatakan, potensi kerugian (potential loss) penerimaan pajak 2009 bisa menembus sebesar Rp 40 triliun. Namun, setelah kembali dihitung, potential loss melonjak menjadi Rp 47 triliun seiring penerapan UU pajak baru.

Meskipun demikian, tegas Darmin, pemerintah optimistis penerimaan pajak diharapkan dapat tercapai sesuai target RAPBN 2009 senilai Rp 624 triliun.
"Guna mengoptimalkan penerimaan pajak, kami terus menggalaukan program intensifikasi dan ekstensifikasi. Sebab, hal tersebut baru dimulai sejak akhir 2007 melalui metode profiling dan smarting dari wajip pajak yang besar," tandas dia.

Dia menegaskan, metode itu dinilai cukup efektif, karena Ditjen Pajak dapat memantau berapa banyak wajib pajak (WP) yang melunasi pajak jauh di bawah normal.

Berdasarkan data Depkeu, realisasi pajak 2004 mencapai 100% dari target yang ditetapkan Rp 280.56 triliun. Tapi, realisasi penerimaan pajak tahun berikutnya turun menjadi 98,6% dari target semula Rp 351,97 triliun! Hal sama juga terjadi pada 2006.

Dari target Rp 425,05 triliun, realisasi mencapai 96,3%. Sedangkan realisasi penerimaan pajak 2007 hampir menembus 100%, yaitu Rp 490.98 triliun.

Penerimaan pajak nonmigas periode Januari-September 2008 meningkat 46% dibandingkan peridoe sama tahun lalu.

Dihubungi terpisah, Dekan Fakultas Ekonomi UI Bambang Brodjonegoro berpendapat, penurunan tarif pajak tidak akan linier dengan pengurangan penerimaan. Sebab, hal tersebut dapat dikompensasi dengan cara meningkatkan aktivitas ekonomi, sehingga mampu meminimalisasi potensi penurunan penerimaan.

"Saat itu merupakan momentum tepat untuk melihat elastisitas tarif terhadap penerimaan pajak," ungkap dia.

Terlalu Besar

Pengamat perpajakan dari Universitas Pelita Harapan Ronny Bako mengatakan, potensial loss yang bisa dihitung hanya atas UU PPh. Sedangkan potensi kerugian UU PPN belum dapat dikalkulasi saat ini, karena RUU-nya belum selesai. Ronny meragukan, besarnya potensi kerugian terkait amendemen ketiga UU Pajak.

"Kalaupun ada potensi kerugian seharusnya tidak sebesar Rp 40 triliun, tapi berkisar Rp 25-30 triliun. Itupun masih dapat ditekan bila program sunset policy berhasil. Saya yakin, potensi kerugian hanya berkisar Rp 15-20 tribun," jelas dia.

Menurut dia, jika tarif PPN dan PPNBM tetap atau turun, potensi kerugian tidak terjadi, kecuali bila modelnya seperti UU PPh yang tergolong revolusioner. Apalagi, se-karang ini Ditjen Pajak cukup kooperatif dalam melaksanakan tugasnya. "Yang penting, pemerintah harus sanggup meningkatkan kepatuhan WP," ujar dia.

Pandangan senada juga dilontarkan Wakil Ketua Komisi XI DPR Olly Dondokambey. Dia mengatakan, penerapan UU Pajak yang baru tetap mendongrak penerimaan pajak negara tahun depan. Soalnya jumlah volume pajak bakal lebih besar sejalan kenaikan jumlah pembayar pajak. Oleh karena itu, target penerimaan pajak 2009 sebesar Rp 624 triliun kemungkinan besar tercapai.

Target penerimaan pajak sejatinya melonjak tajam seiring modernisasi kantor-kantor pajak, program intensifikasi, dan ekstensifikasi. Artinya, kehilangan penerimaan pajak Rp 47 triliun tahun depan tidak begitu signifikan di-bandingkan penerimaan pajnk baru," papar dia.

Sementara itu, ekonom Faisal Basri mengungkapkan, pemerintah tidak perlu khawatir atas potensi penurunan penerimaan pajak akibat reformasi. Dia yakin, deregulasi UU Perpajakan yang dinilai kondusif bagi dunia usaha akan berdampak positif atas penerimaan perpajakan. "Bahkan tidak sampai 2010, penerimaan pajak tetap tumbuh mulai tahun depan, karena WP bertambah banyak setelah reformasi perpajakan. Reformasi pajak itu ibarat kebun binatang yang binatang-nya bertambah banyak," ujar dia.

Menurut Faisal, reformasi perpajakan tidak dapat dihindarkan lagi, karena kebijakan serupa sudah diterapkan di negara lain. Kalau Indonesia tidak menerapkan reformasi perpajakan, tegas dia. Indonesia pasti kalah bersaing dengan negara lain dalam mena-rik investasi.

Dia mengakui, seiring reformasi perpajakan. Ditjen Pajak semakin gencar melakukan program intensifikasi penarikan pajak, seperti perkebunan kelapa sawit. Apalagi, pemerintah sudah memiliki acuan dalam mengukur nilai pajak yang sesuai untuk suatu perusahaan.

Faisal menambahkan. Ditjen Pajak kini dipimpin pejabat yang memiliki integritas tinggi dan baik. Sedangkan sistem administrasi perpajakan juga kian berkualitas, menyusul diterapkannya sistem komputerisasi.

"Jadi, saya kira sulit bagi aparat dan WP membuat kompromi atas pembayaran pajak. Soalnya, pemerintah sudah mempunyai program-program yang mampu mendorong penerimaan pajak, antara lain kewajiban memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan sunset policy," kata dia.

Recky Meltha/Mahasiswa STIEBI

Selasa, 21 Oktober 2008

The Tax Identification Number (NPWP)

Dengan akan di amandemenkan Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2009, maka pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 59/PJ/2008 tanggal 17 oktober 2008 tentang Pemberian NPWP Bagi Karyawan, surat edaran ini adalah sebagai aturan pelaksanaan dari Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang mewajibkan kepada setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan Subjektif dan Objektif untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk mendapatkan NPWP.
Dalam Surat Edaran ini ada 2 (dua) hal yang di tegaskan oleh Direktorat Jenderal Pajak bahwa :
  1. Bagi Wajib Pajak yang bertolak ke Luar Negeri yang telah berusia 21 tahun dan tidak memiliki NPWP maka mempunyai kewajiban untuk membayar "Fiskal Luar Negeri".
  2. Bagi Karyawan/Pegawai yang belum memiliki NPWP maka sejak 1 Januari 2009 di tetapkan bahwa PPh Pasal 21 atas gajinya di potong sebesar 20% lebih tinggi dari tarif yang telah ditetapkan dalam Undang-undang PPH.
menyikapi hal itu, maka melalui tulisan ini di himbau kepada masyarakat yang merasa mempunyai penghasilan rata-rata sebulan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak atau sebesar Rp 1.320.000,00 sebulan maka untuk segera mendaftarkan di ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak atau ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama di wilayah tempat tinggal atau dapat mengakses melalui Portal djp yaitu di www.pajak.go.id.


Senin, 20 Oktober 2008

BATASAN PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK TAHUN 2009

Dengan di undangkannya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan tanggal 23 September 2008 sebagai undang-undang perubahan ke 4 dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, tentunya masyarakat harus menyambut baik hal tersebut, karena untuk wajib pajak orang pribadi ada penurunan tarif dan kenaikan batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak, yang tercantum di bawah ini :

Penurunan Tarif menjadi :
1. Penghasilan s.d Rp 50.000.000,00 tarif 5%
2. Diatas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 250.000.000,00 tarif 15%
3. Diatas Rp 250.000.000,00 s.d Rp 500.000.000,00 tarif 25%
4. Diatas Rp 500.000.000,00 tarif 30%

Batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak mengalami kenaikan menjadi :
1. Diri Sendiri Rp 15.840.000,00
2. Status Kawin Rp 1.320.000,00
3. Tanggungan Rp 1.320.000,00
4. Istri Bekerja Rp 15.840.000,00

Batasan menggunakan Norma Penghitungan sebagai pengganti Pembukuan juga mengalami kenaikan menjadi Rp 4.800.000.000,00 .

Penetapan Tarif untuk Sewa dan Imbalan Jasa menjadi tarif tunggal sebesar 2% dari jumlah bruto, yang sebelumnya Wajib Pajak harus memperhitungkan terlebih dahulu prosentase nettonya dari setiap penghasilan dari jasa.

Adanya perluasan biaya yang dapat di kurangkan dari penghasilan, yaitu berupa :
1. Biaya Beasiswa,
2. Sumbangan dalam rangka bencana alam
3. Sumbangan Penelitian dan pengembangan
4. Biaya pembangunan infrastruktus sosial
5. Sumbangan fasilitas pendidikan
6. Sumbangan dalam rangka pembinaan Olah Raga

Dari hal-hal tersebut di atas, maka pemerintah sudah semakin berpihak kepada masyarakat dalam hal perpajakan khususnya pengenaan pajak terhadap penghasilan karyawan, dan juga biaya-biaya yang secara lengsung membebani perusahaan.

Kamis, 16 Oktober 2008

Pokok-pokok Pikiran Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-undang perpajakan tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan telah beberapa kali di ubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, yang diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2008 yang lalu.

Tujuan Perubahan undang-undang ini sesuai dengan penjelasan yang terdapat dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2008 adalah sebagai berikut :

1. menjunjung tinggi hak warga negara;

2. menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan;

3. memberikan rasa keadilan;

4. untuk lebih meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat sebagai wajib pajak;

5. memberikan kepastian hukum dan menegakkan hukum di bidang perpajakan;

6. menyesuaikan perkembangan kemajuan di bidang IPTEK;

7. meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan;

8. Keterbukaan administrasi perpajakan;

9. meningkatkan kepatuhan secara sukarela dari Wajib Pajak.


Didalam undang-undang ini memberikan penegasan kepada Wajib Pajak mengenai kewajiban wajib pajak apabila telah memenuhi persyaratan Subjektif dan Objektif maka wajib hukumnya untuk mendaftarkan diri ke Ditjen Pajak untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Penekanan terhadap persyaratan Subjektif dan Objektif sudah di uraikan di dalam undang-undang ini sesuai Pasal 2 ayat (1) dan bagaimana syarat subjektif dan objektif di atur secara khusus didalam Undang-undang Pajak Penghasilan.

Selain memuat ketentuan tersebut di atas pendaftaran NPWP bagi wanita kawin yang ingin memperoleh NPWP juga telah di atur, hal ini untuk menampung aspirasi masyarakat khususnya untuk wanita kawin yang menginginkan NPWP secara terpisah dari suaminya.

Perubahan lain dari undang-undang ini adalah pelaporan SPT Tahunan, ada perbedaan antara batas waktu penyampaian SPT Tahunan antara SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Wajib Pajak Badan, yaitu :

a. Wajib Pajak Orang Pribadi paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak;

b. Wajib Pajak Badan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak;

hal ini untuk memberikan kesempatan kepada wajib pajak terutama wajib pajak badan usaha agar waktu lebih memadai dalam mempersiapkan pembayaran pajak dan menyelesaikan pembukuannya.

Dalam Pasal 3 ayat (3a) juga di berikan kelonggaran kepada Wajib Pajak untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 untuk beberapa masa dan pembayaran pajaknya juga untuk beberapa masa.

Penegasan lain dalam undang-undang ini adalah perubahan yang sangat mencolok dalam penerapan sanksi administrasi berupa denda apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan tepat waktu, yaitu :

a. Denda Rp 500.000,00 terhadap SPT Masa PPN;

b. Denda Rp 100.000,00 terhadap SPT Masa Lainnya;

c. Denda Rp 1.000.000,00 terhadap SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan;

d. Denda Rp 100.000,00 terhadap SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi.


Demikian Point penting di berlakukannya Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan.


Penulis,

Heri

Jum'at, 17 Oktober 2008.

Selasa, 16 September 2008

Jasa Internet Bukan Objek PPh Pasal 23

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK___________________________________________________________________________________________ 12 Juni 2007
SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 429/WPJ.19/KP.0307/2007
TENTANG
TANGGAPAN ATAS PERMOHONAN PENEGASAN JASA INTERNET SESUAI DENGAN PER-70/PJ./2007
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan surat dari Direktur Keuangan dan SDM PT Indosat Mega Media (IM2) Nomor 0904/DKA/IMM/V/07 tanggal 4 Juni 2007 perihal permohonan Penegasan Jasa Internet sesuai dengan PER-70/PJ./2007, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Dalam surat tersebut Saudara memohon agar dapat diberikan penegasan bahwa jasa internet bukan termasuk jenis jasa yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan PER-70/PJ./2007 dikarenakan adanya pemahaman yang tidak sama di lapangan mengenai jasa yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 berdasarkan peraturan tersebut :
2. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ./2007 tanggal 9 April 2007 tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur : 2.1. Pasal 1 ayat (2), imbalan jasa yang atas pembayarannya dipotong PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah imbalan jasa teknis, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultasi dan jasa-jasa lain sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, kecuali jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. 2.2. Lampiran II, perkiraan penghasilan neto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultasi dan jasa lain dikenakan pada jenis jasa yang disebutkan di bawah ini : a. Jasa teknik, manajemen dan konsultansi kecuali konsultansi konstruksi. b. Jasa pengawasan dan perencanaan konstruksi. c. Jasa lain-lain : 1. Jasa Penilai 2. Jasa Aktuaris 3. Jasa Akuntansi 4. Jasa Perancang 5. Jasa Pengeboran (jasa driling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh BUT 6. Jasa penunjang di bidang penambangan migas 7. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas 8. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara 9. Jasa penebangan hutan 10. Jasa pengolahan limbah 11. Jasa penyedia tenaga kerja 12. Jasa Perantara 13. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI 14. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI 15. Jasa pengisian suara 16. Jasa Mixing film; 17. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan 18. Jasa instalasi/pemasangan mesin dan peralatan 19. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan 20. Jasa pelaksanaan konstruksi 21. Jasa maklon 22. Jasa penyelidikan dan keamanan 23. Jasa penyelenggaraan kegiatan/event organizer 24. Jasa pengepakan 25. Jasa penyediaan tempat dan/waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi 26. Jasa pembasmian hama 27. Jasa kebersihan/cleaning service 28. Jasa catering
3. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat ditegaskan bahwa Jasa Internet tidak termasuk ke dalam jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2000 sesuai dengan Lampiran II PER-70/PJ.2007

UKHUWAH ATAS NAMA ALLAH

.
UKHUWAH ATAS NAMA ALLAH

Muslim satu dengan Muslim yang lain itu ibarat satu tubuh, kata nabi. Itulah ukhuwah atau persaudaraan. Ukhuwah islamiyah atau persaudaraan islam adalahsendi pokok untuk membangun tatanan masyarakat Muslim yang kokoh. Tatanan masyarakat Islam yang kokoh merupakukhuwahan cita-cita kita semua dimana Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin akan benar-benar terwujud .
Perkokoh pilar-pilar ukhuwah islamiyah adalah kewajiban setiap muslim. Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan kaum muslimin untuk menegakkan ukhwah dalam islam. Adapun anjuran ukhwah menurut Islam :
1. Lillahi Ta’ala
Semangat ukhuwah di antara sesame muslim hendaknya didasari karena Allah semata, karena ia akan menjadi barometer yangbaik untuk mengukur baik buruknya suatu hubungan. RAsulullah bersabda bahwa “pada hari kiamat Allah brfirman : Dimanakan orang-orang yang saling mencitai karena keagungan-Ku? Pada hari yang tiada naungan selain naungan-Ku ini, aku menaungi mereka dengan naungan-Ku” (HR Muslim)
Dalam hadist lain Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang bersaudara dengan seseorang karena Allah, niscaya Allah akan mengangkatnya ke suatu derajat di surga yang tidak bias diperolehnya dengan suatu dari amalnya” (HR Muslim).
Dalam keterangan yang lain Nabi Muhammad menjelaskan, “ Disekeliling Arsy terdapat mimbar-mimbar dari cahaya yang ditempati oleh suatu kaum yang berpakaian dan berwajah (cemelang) pula. Mereka bukanlah para nabi atau syuhada, tetapi nabi dan syuhada merasa iri terhadap mereka. “Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah beritahukanlah kepada kami tentang mereka?”, “Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai, bersahabat, dan saling mengunjungi karena Allah” (HR Nasa’I dari Abu Hurairah Radiallahu ‘anhu).

2. Tidak Saling Menzhalimi
“Seorang muslim adalah Saudara bagi muslim lainnya, tidak menzhalimi atau mencelakkannya. Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya sesama Muslim dengan menhilangkan satu kesusahan darinya, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan diantara kesusahan-kesusahan di hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi aib seorang muslim,niscaya Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat”. (HR Bukhari dari Abdullah bin Umar ra).
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasualullah bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, memusui, atau menjual barang yang sudah dijual ke orang lain. Tetapi jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak menzhalimi, dantidak membiarkan atau menghinakan, dan takwa itu disini (beliau menunjuk ke dadanya 3 kali)
3. Ibarat Satu Tubuh
Ukhuwah dalam Islam memperkuat ikatan antara orang-orang Muslim dan menjadikan mereka satu bangunan yang kokoh. ‘Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencitai dan berkasih saying adalah ibarat satu tubuh, apabila satu organnya merasa sakit, maka seluruh tubuh akan sulit tidur dan merasa demam” (HR Muslim)
“Orang-orang muslim itu ibarat satu tubuh, apabila matanya merasa sakit, seluruh tubuh ikut merasa sakit, jika kepala merasa sakit, seluruh tubuh ikut pula merasakan sakit” (HR Muslim).


4. Merasakan Lezatnya Iman
Barangsiapa ingin (suka) memperoleh kelezatan iman, hendaklah ia mencintai seseorang hanya karena Allah .”(HR Ahmad)
5. Mengenal Baik Sahabatnya
“Jika seseorang menjalin ukhuwah dengan orang lain, hendaklah ia bertanya tentang nemanya, nama ayahnya, dan dari suku manakah ia berasal, karena hl it lebihmempererat jalinan rasa cinta”. (HR Tirmidzi)

H. HERI PUDJI TRISILO

Rabu, 02 April 2008

Do you have dream ?

Setiap pagi aku selalu memacu kereta besiku untuk berangkat ke tempat dimana aku kerja yaitu di Kota Bekasi. Menjelang malam aku memacu kembali kereta besiku kembali kerumah dan berkumpul dengan keluarga. Hampir setiap hari sejak bulan Oktober 2007 dan sejak aku dipindahkan ke tempat tugasku yang baru melakukan aktivitas menjalankan kereta besi melintasi dari tol ke tol yang lain.
Kadang dalam benakku yang paling dalam berkata, "apa yang kau cari?", pertanyaan itu muncul sadar maupun tidak sadar. Kadang-kadang dalam perjalananku aku di temani seorang sahabatku dan kadang-kadang aku melaju sendiri. Kalau aku kebetulan sendirian memacu kereta besiku aku selalu mendengarkan radia Pro FM 103 yang setia memperdengarkan guyonan dan lagu-lagu yang segar untuk membuat menemi dalam kesendirian di mobil. Dalam kesendirian di mobil inilah banyak pikiran-pikiran, keinginan-keinginan dan khayalan-khayalan, bahkan impian-impian aku ingin itu, aku ingin ini, sekaligus berandai-andai.
Pertanyaan di atas akhirnya sempet aku jawab sendiri "yang ku cari andalah impian".
Nah lo kenapa aku mencari impian ?
Karena dari sekian banyak impian-impianku ada yang sudah jadi kenyataan, dan ada yang belum, sehingga aku harus mengejar impian-impian yang lainnya dan aku yakin dan pasti impian yang lain juga tercapai.
Impian yang sudah tercapai adalah Menunaikan rukun Islam ke Lima yaitu menunaikan Ibadah Haji, untuk menyempurnakan agamaku. Bersama istriku yang tercinta impian menunaikan ibadah haji sudah kami jalankan dengan keyakinan. Kata-kata yang sering saya pakai pada saat itu adalah "Saya harus bisa" itu yang aku ucapkan setiap hari, selama hampir 5 tahun memimpikannya". Jadi Haji bukan hanya sekedar niat tetapi apa yang kita wujudkan dari niat itu, kalau hanya sekedar mengucapakan "saya sudah mempunyai niat untuk ber-Haji", kalau boleh aku katakan itu bukan niat tetapi baru cita-cita.
Kena demikian? ya.... kalau namanya cita-cita orang boleh bercita-cita setinggi langit lapis tujuh tanpa harus cepat mewujudkannya, sehingga kita tidak tahu kapan akan mewujudkannya. Sedangkan kalau niat, maka apa yang kita niatkan sudah ada di depan kita dan kita sudah siap untuk mengerjakannya memenuhi niat itu sendiri.
Hubungannya dengan Haji, kalau sesorang sudah mempunyai cita-cita untuk ber Haji, maka segera tulis di sebuah buku (saya sering menyebut Dream Book), di buku inilah segala jenis impianku tercatat. Apabila ada gambar yang kita inginkan atau cita-citakan tempel di buku impian tersebut, kemudian catat kapan kita akan mewujudkan impian itu.
Langkah selanjutnya adalah mewujudkan dengnan suatu niatan, yaitu kalau saya adalah segera membuka tabungan haji. Inilah yang saya maksud untuk membedakan antara cita-cita dan niat. Dengan membuka Tabungan Haji maka kemungkinan niatan kita sudah terwujud 10% karena baru membuka. Sehingga sampai kapannya kita melunasi tabungan haji, akan kembali kepada kita kapan kita mewujudkan niatan kita. Apakah ingin cepat atau ingin lambat, hal itu tergantung kita. Oleh karena itu penting mencatat kapan kita akan mewujudkan impian kita. Jangan takut gagal apabila impian kita tidak terwujud, gagal dan tercapainya impian kita kembali kita gantungkan harapakan kepada Yang Maha Pencipta. Tetap bekerja keras dan berdo'a sampai kita benar-benar meraih apa yang di cita-citakan. Saya juga melakukan hal seperti ityu, awalnya berat, bisa ndak yang saya melakukan ini? bisa ndak ya saya pergi Haji ? Nanti aku gagal bagaimana? Biaya darimana? Anak-anak Bagaimana ?
Segala jenis pertanyaan awal aku bermimpi seperti itu, sampai ada seorang motivator mengatakan "Jangan takut untuk bermimpi". Benar juga 5 (lima) tahun aku bermimpi menginjak tahu ke lima Alhamdulillah karena berkat Rahmat Allah saya dan istri menunaikan rukun islam ke lima pada tahun 2005.

Kamis, 3 April 2008